Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

surya.hrAvatar border
TS
surya.hr
Penghuni Arjuno-Welirang


Menikmati keindahan ciptaan Tuhan dapat dilakukan dengan berbagai macam cara. Bagiku salah satu caranya adalah dengan mendaki gunung. Sebuah tantangan yang memanjakan mata. Memang tak semudah itu dicapai tanpa perjuangan yang gigih. Sungguh pengalaman yang luar biasa tak pernah habis digambar dalam untaian kata. Dan aku sangat menikmatinya.

Salam semilir riak angin mulai membasuh wajah-wajah kami yang telah sampai di pos awal pendakian Gunung Arjuno-Welirang.

Wendi yang akrab kami panggil dengan sebutan "Gombloh" sedang asyik mendaftarkan nama-nama kami. Harusnya kami berangkat berempat, tapi mendadak Argo, membatalkan diri karena ada hajatan besar dirumahnya dan dia tidak bisa menolak untuk absen. Jadi akhirnya kali ini kita berangkat bertiga saja, Gombloh, Junet dan aku. Begitulah kami yang mengklaim diri sebagai para jomblo merana ini selalu menghabiskan waktu bersama di sela-sela liburan, selain nongkrong di rental PS.

"Don, makan dulu yuk mumpung masih ada warung". Teriak Junet setelah membeli beberapa bekal tambahan.

"Hayuklah, aku laper juga nih". Aku meringis sambil mengusap perutku. Rasa lapar itu membuat cacing penghuni perutku serasa memberontak.

Gombloh tampak bergegas menyusul kami yang sedang menikmati sajian khas Jawa Timuran berupa nasi rawon dan secangkir teh panas.

"Ayo mangan sek Mbloh!". Teriak si Junet yang cengengesan mengangkat gelas teh panasnya ke udara. Sekilas guratan wajah Wendi nampak gusar ketika melangkah menuju meja warung bercat biru tempat kami makan yang berisikan piring dengan gorengan hangat.

"Teh panas plus rawon siji buk!". Wendi melambaikan tangannya ke ibu penjaga warung yang wajahnya sangat ramah.

"Aman lancar kan jalurnya Mbloh?" Tanyaku penasaran dengan raut wajahnya yang masih gusar.

"Kata petugasnya tadi aman, yang naik dari jalur ini juga lumayan. Cuma masalahnya kita ini bertiga, ganjil" Wendi nyengir.

"Mbawa tongkat aja Mas nya buat nggenapin rombongan". Tiba-tiba ibu penjaga warung tadi ikutan nimbrung bicara setelah menghantarkan rawon dan teh panasnya.

"Bapak-e tadi juga bilang gitu bu". Wendi merespon kalimat kalimat si ibu tadi.

"Bener Mas, supaya tidak ada mahluk lain yang menggenapkan rombongan kalian nanti, dan kalau bisa baju merahnya disimpan saja".Tiba-tiba dia menepuk pundakku. Dan aku baru sadar kalau sekarang sedang menggunakan jumperbergaris garis merah.

oOo


Matahari sudah mulai bergeser saat kami memutuskan untuk memulai pendakian. Wendi di depan membawa tongkat dari patahan kayu yang lumayan kokoh meski ringan. Aku mengikutinya beriringan dengan Junet. Sekilas aku memandang Junet. Dia tak banyak bicara kali ini hanya lambaian angin yang mengguncangkan rambut sebahunya.

Jalur pendakian awalnya melandai dan rapi. Kamipun masih sempat bertegur sapa dengan penduduk sekitar yang beraktivitas naik turun di daerah itu. Lama-kelamaan suasana telah berubah menjadi sepi dan berbatu-batu. Hanya sesekali kami berpapasan dengan pendaki lain yang sedang turun. Aku sudah menyimpan jumperbergaris merah itu jauh di dalam carrier yang kubawa saat teringat pesan si penjaga warung. Mungkin inilah salah satu peraturan lokal yang harus ditaati tanpa harus dipertanyakan esensinya demi keselamatan bersama.

"Don, Doni kita ke kiri atau ke kanan?" Teriak Wendi yang berada beberapa langkah lebih jauh di depanku. Sontak aku membuka peta dasar yang diberikan saat pendaftaran tadi.

"Ke kiri sepertinya Mbloh". Jawabku singkat.

Kamipun melangkah dan kurasakan Junet semakin diam tanpa suara.

"Kenapa Net? Kekenyangan ato gak feel?" Selorohku tanpa basa-basi.

"Enggak lah!". Junet tersenyum tipis dan tetap berjalan beriringan denganku.

Jalur pendakian yang memanjang, berbatu-batu, sesekali melandai dan menanjak ini terasa sangat melelahkan fisik setelah beberapa jam terlampaui. Jalur favorit para pendaki meski sarat dengan suasana mistisnya.

Aku tak pernah ambil pusing dengan hal tersebut, selama niatan kita baik, menjaga etika dan tidak berperilaku buruk, kurasa akan aman kedepannya. Setidaknya itulah prinsip kami, anti vandalisme dan tidak membuang sampah sembarangan saat berada di lingkungan alam liar.

oOo


Sesekali kami berhenti saat letih merambah tubuh ini. Lalu saling bertegur sapa dengan para pendaki lain di pos 1 dan 2 sambil bertukar cerita dan mengisi perbekalan. Ada pendaki yang kakinya terkilir sehingga harus dibantu tandu darurat oleh rombongannya. Dalam hati akupun berdoa, semoga hal itu tidak terjadi pada kami karena kami cuma bertiga.

Selesai rehat sejenak, kamipun berlalu ke tanjakan berikutnya. Kabut tipis mendadak mulai turun, beberapa saat melangkah kupingku mulai terasa tak nyaman, seolah berdenging panjang tanpa henti. Aku mendengar suara geraman yang cukup untuk membuatku menghentikan langkah.

"Harimau kah yang kudengar?" Jantungku berdegup kencang. Kulihat Wendi melangkah mundur dan menatap kami lekat.

"Rek, kalian dengar ta?" Pekiknya tertahan.

"Sssttt..." Junet memberikan kode diam dengan meletakkan telunjuknya di mulut dan meminta kami berkumpul.

Seketika langit menggelap dan kabut tipis itu berangsur menebal, padahal harusnya cuaca cukup bagus hari ini. Bulu kudukku bergeliat naik, seperti alarm yang menandakan bahwa ada sesuatu yang tidak beres sedang terjadi. Dan sekali lagi gema dari suara geraman itu terdengar lagi dengan sangat jelas membelah keheningan.

Junet menepuk punggungku dengan keras dan membuat aroma panik itu semakin kentara.

"Ayo turun ke pos 2, sekarang!". Wendi mengambil keputusan dan sekalipun kami merasa tak perlu memperdebatkannya disuasana yang mencekam seperti ini.

Tanpa bicara kami turun menembus kabut. Kami masih bisa melihat jalanan dengan cukup baik jadi headlamp belum perlu digunakan. Jarak langkah kami rapat, tidak terlalu berjauhan. Wendi tetap di depan, aku dan Junet beriringan dibelakangnya. Dan kami menutup mulut kami rapat-rapat sampai terdengar suara teriakan meminta tolong dari arah bawah kami. Firasatku tidak nyaman. Entahlah apa karena aku memang penakut atau memang sedang terjadi sesuatu.

"Don, ayo cepetan!" Junet menyuruhku bergegas.
Dari kejauhan aku melihat ada orang yang sedang duduk diantara bebatuan, dari pakaiannya tampaknya dia seorang pendaki, carriernya diletakkan di sampingnya. Semakin dekat, nampak semakin jelas.

"Apakah mungkin tadi dia yang berteriak meminta pertolongan ya?" Sebuah tanya menyeruak dalam hatiku.

Kami bertiga masih berjalan turun dalam formasi yang rapat, tak berjauhan. Semakin dekat, aku makin jelas melihat sosok pendaki yang duduk diantara bebatuan tadi. Dari arahku, nampak jaketnya yang lusuh. Kupikir mungkin dia adalah pendaki yang tertinggal rombongan atau kehabisan perbekalan. Aku berniat untuk menghampirinya dan mengajaknya bergabung dengan rombongan kita untuk turun. Setidaknya itulah yang bisa kita lakukan untuk saling berbagi dengan sesama kawan pendaki.

Kurang lebih lima langkah sebelum aku menghampirinya, Junet menarikku dengan keras dan memaksaku untuk tidak berbelok.
"Lurus Don, lihat depan!" Tangannya menggamitku dengan kencang seolah tak membiarkan aku menghampiri pendaki yang lusuh tadi.

Seketika aku marah, entah apa maksudnya. Apa dia tidak melihat ada orang yang duduk lemas disana?

Aku mencoba menyibakkan tangan Junet dengan keras dan menunjuk ke arah pendaki lusuh yang tadi hendak kuhampiri. Sekarang kami beberapa langkah dibawahnya.

"Don, ayo lurus. Nanti aja dibahas!". Junet masih tetap kekeuh tidak memalingkan wajahnya ke arah yang kutunjuk.

Namun saat itu juga aku merasakan kejutan listrik dalam arus yang sangat dingin mengaliri ujung telunjukku dan membuatku beku tak bergerak.

Kemana pendaki yang duduk lemas dengan carrier disampingnya tadi beranjak? Yang nampak hanya kumpulan kabut diantaranya. Tubuhku mendingin saat Junet menggeretku turun dengan paksa.

"Mbloh, lanjut terus ojo noleh!". Lagi-lagi Junet berteriak pada Wendi saat dia mulai lelah dan ingin berhenti sebentar. Wendi sepertinya cukup paham, dan melanjutkan langkahnya tanpa ragu.

Sudah mulai gelap saat kami mencapai Pos 2, Wendi dan Junet sepakat untuk kami nge-camp disini, ada cukup persediaan air. Aku masih tak ingin berkata-kata dan memilih untuk diam saat membantu mereka menyiapkan kemah. Ada beberapa kayu kering di sekitar sana yang mudah ditemukan untuk dijadikan api penghangat dan penghalang hewan buas menyerang kami.

Kami menghangatkan diri diantara perapian, menyeduh minuman panas dan makan mie instant berkuah yang cukup melegakan saat melawan hawa gunung.

"Net, memangnya kamu tadi enggak lihat ta?" Tanyaku pada Junet penasaran.

"Lihat, tapi aku tau itu ga nyata makanya aku nyuruh kamu buat lanjut". Jawabnya singkat di sela-sela seruputan kopi hitamnya yang pekat.

"Mbloh, kamu liat juga?". Tanyaku ke Wendi.

"Lah liat opo sih Don?". Wendi bertanya balik padaku dengan wajah bingung. Sekarang malah aku yang bingung.

"Don, inilah yang namanya kompromi ama alam". Junet berceloteh seolah dia tidak mengalami apapun.

Kami menghabiskan waktu dan merencanakan agenda untuk naik lagi keesokan hari, bercanda dan tertawa lepas seperti biasanya. Aku sudah mulai berkompromi dengan alam seperti yang dimaksudkan Junet.

Kami menambahkan beberapa kayu lagi sebelum memutuskan untuk masuk tenda. Tepat setelah itu, terdengar suara geraman yang menggema memecah harunya malam.

Suara itu terdengar "marah" dan menghantar sengatan yang kuat ke saraf sarafku. Wendi dan Junet refleks untuk bangkit dan mengambil potongan kayu dari perapian yang masih berkobar. Mereka saling memberi aba-aba untuk diam dan bersiap. Seperti tak mau ketinggalan, akupun mengambil potongan kayu yang masih terjilat api di kedua tanganku. Dan kita menunggu, meskipun aku ragu tentang apapun yang kita tunggu. Mata kami saling menatap dan bergerak liar menyapu gelap disekitar.

Ranting dedaunan semak mulai bergemerisik, adrenalin kami memuncak. Seketika muncul sosok besar dari balik semak, perlahan tapi pasti bergerak mendekati arah kami. Urat uratku terasa menegang dalam pacuan detak jantung yang makin kencang.

Mata kami semakin terbelalak saat sosok itu nampak jelas dalam pantulan cahaya perapian.

"Mbloh..." Bisikku perlahan. Dia tak menjawab, hanya menganggukkan kepala memintaku tetap waspada.

Sosok yang semakin jelas itu menatap kami dengan lekat, seekor harimau putih berukuran besar sedang tegak menatap kami dan mulai berjalan mendekat. Entah apa yang harus aku lakukan pada situasi ini selain bersiap atas segala kemungkinan.

"Maafkan kami, kami datang bukan untuk mengganggu. Kami juga tidak mempunyai maksud jahat sama sekali". Aku mendengar Junet melontarkan kalimat-kalimatnya tanpa terkesan gentar sekalipun.

Sosok harimau putih itu kembali membuka mulutnya, tapi kali ini dia mengaum dengan sangat kencang hingga bulu kudukku bergidik. Kemudian dia melangkah mendekat, memutari kami yang berada dekat di lingkaran perapian. Matanya masih lekat menatap kami satu persatu, sangat intimidatif. Kemudian dia berlalu dan menghilang begitu saja di tengah pekatnya malam. Aku seolah kehilangan keseimbangan hingga jatuh terduduk lemas, tanganku masih memegang kayu yang berkobar.

Wendi beralih menatap Junet dan aku, kemudian membuang kayu perapian dari tangannya. Dia bergegas masuk ke dalam tenda dan mengemas barang-barang kami dengan segera.

"Ayo Don, kita harus turun!". Junet seolah menjelaskan arti dari sikap Wendi yang bergegas tanpa kata.

"Oke-oke kita packing!". Seketika aku beranjak dari pikiranku yang kacau dan mulai membantu mereka berkemas.

"Baiklah, setelah beberapa kejadian aneh yang terjadi, mungkin lebih baik kita tidak melanjutkan pendakian kali ini". Gumamku dalam hati.

Wendi yang cukup berpengalaman dalam pendakianpun seolah tak mampu berkata-kata.

Akhirnya malam itu juga kami melangkah turun dengan degupan hati yang tak beraturan. Kali ini formasi kami usahakan serapat mungkin, mengandalkan headlamp dan lampu senter. Ingatanku melayang pada pendaki yang ditandu darurat karena jatuh. Aku tak ingin ada kejadian seperti itu, aku masih memperhatikan langkahku sambil berdoa semoga kami selamat sampai di bawah.

Perjalanan ini terasa sangat berat saat menyisakan sebuah tanya yang tak pernah bisa terjawab oleh logika. Siapa pendaki itu? Apakah harimau putih yang kami saksikan sebuah curai? Atau hanya permainan ilusi kami?

Kami dibalut dalam diam dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawabkan...



_____________________________________________
Sumber gambar: googleimage
Ide dan Tulisan: Karya Pribadi
Gresta
ceuhetty
sebelahblog
sebelahblog dan 4 lainnya memberi reputasi
5
1.2K
5
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan