TS
lacie.
[Orific] Pilihan
Spoiler for Pilihan:
“Kau tahu di sini ada ikan koi berwarna emas, ‘kan?”
“…”
Bayangan putih di sebelahku hanya diam saja, menunggu umpan pancingannya digigit ikan—sama sepertiku. Aku merasa canggung sendiri jadinya.
Sekian lama menunggu, tidak ada di antara kami yang menarik seekor ikan pun. Aku memandangi kosong saja kolam pancing di depanku yang tiada kulihat ujungnya. Lelah memegangi pancingan terus-terusan, aku meletakannya pada pengait yang disediakan disamping, kemudian berdiri dari kursi.
“Bosan juga tidak mendapat ikan daritadi.” Aku berbicara lagi sambil meregakan tangan dan pundak.”Kau kepegalan duduk begitu terus?”
Dia meletakan pancingannya di pengait sebelahnya, lalu menirukan apa yang kulakukan. Menengok dan memberikanku jempol sesudahnya. Jelas sekali dia bukan tipe yang suka berbicara.
Bayangan putih itu kembali duduk di kursinya, sekarang tanpa memegangi pancingannya. Aku lalu memintanya untuk mengawasi pancingan milikku—dia mengangguk pelan.
Aku lalu memutar badan, menghampiri pintu kayu besar tidak jauh dari lokasiku berdiri. Menarik gagangnya perlahan, dan menemukan sebuah mobil mini copperbiru terparkir. Tidak ada seorang pun di dalam mobil tersebut, tapi pintu belakangnya tiba-tiba terbuka sendiri. Layaknya pintu otomatis.
Mengetahui memang mobil ini diperuntukan menjemputku, aku langsung memasukinya. Mobil ini berjalan sendiri setelahnya.
Lengan kutaruh di senderan pintu mobil, memandangi segala sesuatu yang terlintas mobil ini. Dari segala hal, yang benar-benar menarik perhatianku adalah ikan koi berwarna emas, ya, ikan koi berwarna emas yang berenang di antara lautan awan. Dan dengan lambatnya mobil ini melaju, kepuasanku pun benar-benar terpenuhi.
“Heh..” menghela napas yang dalam, aku berbicara pada diri sendiri.”Bagaimana ya untuk mendapat uang dengan cepat? Melewatkan makan siang sekolah?”
“Lalu kau terkena sakit maag?”
“Tidak jadi deh.”
Bayangan putih di sebelahku terkekeh.
“Menurutmu bagaimana? Ada cara?”
“Coba saja kerja paruh-waktu.”
Aku memiringkan kepala.
“Hmm… Belum pernah mencoba aku. Lagipula sepertinya ibu tidak akan mengijinkan.”
“Itu yang dikatakan semua orang pertama kali. Dan setidaknya bicarakan saja dulu kepada ibu.”
Aku terdiam sejenak.
“Tidak, tidak, ibu pasti tidak akan menginjinkan.”
Bayangan putih itu kemudian tertawa.
“Hah! Yang benar saja, sebegitukah kau takutnya pada ibu?”
“Asal kau tahu, aku pernah membuat ibu marah. Dan itu kesalahan besar. Besar.”
“Tapi konsol yang kau mau itu edisi terbatas ‘kan?”
Aku kehabisan kata untuk membalas omongannya. Kusadari juga mobil yang kutumpangi ini melambat.
“Berarti harus buru-buru, ‘kan?”
“Ya…”
Dia mengatakannya sembari menyeringai.
Ah…
“Hmm? Suara apa itu?”
Seringai bayangan putih itu semakin melebar. Sampai membuatku merasa jijik melihatnya.
Uhh.. Ahhh… Umm…
Suara itu kembali berbunyi, durasinya semakin bertambah. Aku mulai merasa tidak nyaman.
“Ingat, kau tidak akan bisa memilih dengan benar kalau bukan dengan segenap hati.”
AHH!!!!
Aku terbangun penuh, langsung melonjak dari kasurku. Secara insting mendekati asal suara menganggu tersebut—saudariku yang tertidur di ranjang sebelah.
“AHH--UHH, Z-ZZAEL.”
Aku memegangi pundaknya, menggoyang-goyangkan badannya hingga terbangun. Memanggil-manggil namanya.
“Elza! Elza! Bangun!”
“… H-Huh?”
Dia yang perlahan terbangun dari kelumpuhan tidurnya, menatapku lemah. Dan matanya mulai berair.
“Uuu-uu…”
“Tenang, tenang.” Ucapku menenangkan, selagi dia mencoba memelukku. “Aku tidak akan pergi. Aku tidak pergi kok. Tenang saja.”
Dia melepaskan pelukannya. Menatapku dengan ekspresi memohon, tidak berkata apapun. Menahan tangisannya.
“Sekarang tidur lagi ya.”
Elza mengangguk. Tapi dia hanya mau melakukannya bila aku mengeloninya. Jadi, aku duduk di samping kasurnya, menunggu sampai dia tertidur kembali.
Aku pun kembali ke kasurku seusai melakukannya, mencoba untuk melanjutkan tidur. Namun menemukan kalau aku sudah tidak mengantuk lagi.
“… Maafkan aku.”
Aku memaksa diri untuk tidur sembari meneteskan air mata.
“…”
Bayangan putih di sebelahku hanya diam saja, menunggu umpan pancingannya digigit ikan—sama sepertiku. Aku merasa canggung sendiri jadinya.
Sekian lama menunggu, tidak ada di antara kami yang menarik seekor ikan pun. Aku memandangi kosong saja kolam pancing di depanku yang tiada kulihat ujungnya. Lelah memegangi pancingan terus-terusan, aku meletakannya pada pengait yang disediakan disamping, kemudian berdiri dari kursi.
“Bosan juga tidak mendapat ikan daritadi.” Aku berbicara lagi sambil meregakan tangan dan pundak.”Kau kepegalan duduk begitu terus?”
Dia meletakan pancingannya di pengait sebelahnya, lalu menirukan apa yang kulakukan. Menengok dan memberikanku jempol sesudahnya. Jelas sekali dia bukan tipe yang suka berbicara.
Bayangan putih itu kembali duduk di kursinya, sekarang tanpa memegangi pancingannya. Aku lalu memintanya untuk mengawasi pancingan milikku—dia mengangguk pelan.
Aku lalu memutar badan, menghampiri pintu kayu besar tidak jauh dari lokasiku berdiri. Menarik gagangnya perlahan, dan menemukan sebuah mobil mini copperbiru terparkir. Tidak ada seorang pun di dalam mobil tersebut, tapi pintu belakangnya tiba-tiba terbuka sendiri. Layaknya pintu otomatis.
Mengetahui memang mobil ini diperuntukan menjemputku, aku langsung memasukinya. Mobil ini berjalan sendiri setelahnya.
Lengan kutaruh di senderan pintu mobil, memandangi segala sesuatu yang terlintas mobil ini. Dari segala hal, yang benar-benar menarik perhatianku adalah ikan koi berwarna emas, ya, ikan koi berwarna emas yang berenang di antara lautan awan. Dan dengan lambatnya mobil ini melaju, kepuasanku pun benar-benar terpenuhi.
“Heh..” menghela napas yang dalam, aku berbicara pada diri sendiri.”Bagaimana ya untuk mendapat uang dengan cepat? Melewatkan makan siang sekolah?”
“Lalu kau terkena sakit maag?”
“Tidak jadi deh.”
Bayangan putih di sebelahku terkekeh.
“Menurutmu bagaimana? Ada cara?”
“Coba saja kerja paruh-waktu.”
Aku memiringkan kepala.
“Hmm… Belum pernah mencoba aku. Lagipula sepertinya ibu tidak akan mengijinkan.”
“Itu yang dikatakan semua orang pertama kali. Dan setidaknya bicarakan saja dulu kepada ibu.”
Aku terdiam sejenak.
“Tidak, tidak, ibu pasti tidak akan menginjinkan.”
Bayangan putih itu kemudian tertawa.
“Hah! Yang benar saja, sebegitukah kau takutnya pada ibu?”
“Asal kau tahu, aku pernah membuat ibu marah. Dan itu kesalahan besar. Besar.”
“Tapi konsol yang kau mau itu edisi terbatas ‘kan?”
Aku kehabisan kata untuk membalas omongannya. Kusadari juga mobil yang kutumpangi ini melambat.
“Berarti harus buru-buru, ‘kan?”
“Ya…”
Dia mengatakannya sembari menyeringai.
Ah…
“Hmm? Suara apa itu?”
Seringai bayangan putih itu semakin melebar. Sampai membuatku merasa jijik melihatnya.
Uhh.. Ahhh… Umm…
Suara itu kembali berbunyi, durasinya semakin bertambah. Aku mulai merasa tidak nyaman.
“Ingat, kau tidak akan bisa memilih dengan benar kalau bukan dengan segenap hati.”
AHH!!!!
Aku terbangun penuh, langsung melonjak dari kasurku. Secara insting mendekati asal suara menganggu tersebut—saudariku yang tertidur di ranjang sebelah.
“AHH--UHH, Z-ZZAEL.”
Aku memegangi pundaknya, menggoyang-goyangkan badannya hingga terbangun. Memanggil-manggil namanya.
“Elza! Elza! Bangun!”
“… H-Huh?”
Dia yang perlahan terbangun dari kelumpuhan tidurnya, menatapku lemah. Dan matanya mulai berair.
“Uuu-uu…”
“Tenang, tenang.” Ucapku menenangkan, selagi dia mencoba memelukku. “Aku tidak akan pergi. Aku tidak pergi kok. Tenang saja.”
Dia melepaskan pelukannya. Menatapku dengan ekspresi memohon, tidak berkata apapun. Menahan tangisannya.
“Sekarang tidur lagi ya.”
Elza mengangguk. Tapi dia hanya mau melakukannya bila aku mengeloninya. Jadi, aku duduk di samping kasurnya, menunggu sampai dia tertidur kembali.
Aku pun kembali ke kasurku seusai melakukannya, mencoba untuk melanjutkan tidur. Namun menemukan kalau aku sudah tidak mengantuk lagi.
“… Maafkan aku.”
Aku memaksa diri untuk tidur sembari meneteskan air mata.
0
2.4K
Kutip
1
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan